Ilustrasi gambar isu lingkungan - JEJAK POTENSI |
Diskursus mengenai lingkungan hidup, sesungguhnya bukan merupakan hal yang baru di tubuh World Trade Organization (WTO). Sejak didirikan pada tahun 1994 di Marakesh, Maroko, WTO telah membentuk Komite Perdagangan dan Lingkungan (Committee on Trade and Environment [CTE]). CTE merupakan komisi yang terbuka untuk seluruh negara anggota WTO, dengan beberapa organisasi internasional sebagai pengamat. Mandat CTE cukup luas dan dinilai telah berkontribusi untuk mengidentifikasi dan memahami hubungan antara perdagangan dan lingkungan untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan.
Secara spesifik, CTE memiliki tugas sebagai berikut: pertama, mengidentifikasi hubungan antara langkah-langkah perdagangan dan langkah-langkah lingkungan untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan; kedua, membuat rekomendasi yang sesuai tentang apakah modifikasi dari ketentuan sistem perdagangan multilateral diperlukan, sesuai dengan sifat sistem yang terbuka, adil dan tidak diskriminatif.
Pembahasan mengenai isu perdagangan dan lingkungan hidup kembali dibahas dalam Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-4 atau 4th Ministerial Conference WTO (MC4) yang diselenggarakan di Doha, Qatar, pada tahun 2001.
Apriawan, alumnus Pasca Sarjana Universitas Gajahmada melalui risetnya beberapa tahun yang lalu sangat relavan hingga saat ini, ia mengungkapkan bahwa terdapat tiga isu lingkungan yang berpotensi menganggu stabilitas di negara-negara wilayah Asia Tenggara.
Menurutnya, isu-isu lingkungan telah mengalami sekuritisasi di kawasan Asia Tenggara. Tiga isu lingkungan yang mengalami sekuritisasi, antara lain polusi atmosfer dan deforestation, krisis sumber air, dan krisis sumber energi.
Isu-isu lingkungan tersebut menjadi potensi konflik yang diprediksikan mempengaruhi stabilitas kawasan.
Riset yang dilakukan menggunakan metode pendekatan konstruktivisme dan konsep securitization. Pendekatan dan konsep tersbeut menjelaskan bagaimana respon dan tindakan aktor negara baik secara individual maupun kolektif terkait dengan isu ancaman keamanan lingkungan di kawasan Asia Tenggara.
Hasil risetnya menunjukkan bahwa ada dua kemungkinan respon negara-negara di Asia Tenggara terhadap isu tersebut.
Potensi Konflik
“Respon dari negara-negara di kawasan memiliki dua kemungkinan yaitu konflik atau kerjasama. Tiga isu lingkungan diatas telah menimbulkan sangketa atau konflik diantara negaranegara yang terkena imbasnya”. Urai Apriawan sebagaimana dilansir dalam situs ugm.ac.id.
Apriawan menambahkan, terkait masalah polusi asap dan deforestation, adanya ketegangan antara Malaysia dan Singapura dengan Indonesia sebagai negara penghasil polutan.
Kemudian isu krisis air terjadi sangketa antara Malaysia dan Singapura dalam hal pemanfaatan sumber air Johor Malaysia, ketegangan juga terjadi antara negara-negara riparian dengan Cina dalam pemanfaatan sumber air dan sumber energi di aliran sungai Mekong.
potensi konflik lainnya adalah sangketa yang cukup rumit dalam hal pemanfaatan energi yang terjadi di Laut Cina Selatan dan Teluk Thailand, serta konflik perbatasan Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia.
Potensi Kerjasama
Di sisi lain, respon aktor-aktor negara dalam isu lingkungan juga bisa mengarah pada kerjasama, baik dilakukan secara bilateral, multilateral maupun regional seperti pada level kerjasama ASEAN.
Hasil riset tersbeut mengungkapkan bahwa sekuritisasi isu lingkungan bisa dilihat dari bagaimana negara-negara di kawasan mempersepsikan isu tersebut dalam sebuah interaksi pada struktur sosial di kawasan.
Kuncinya berada pada maisng-maisng negara, sebab negara-negara yang berada di kawasan Asia Tenggara dipandang sebagai aktor sosial yang berinteraksi dalam hal sharing pengetahuan, pemaknaan atas sumber-sumber material, dan praktek interaksi antar aktor itu sendiri.
Kontributor : Kukuh
Editor : Kristanti
Posting Komentar
Posting Komentar