Sumber gambar ; Tangkapan Layar dari video yang beredar - JEJAK POTENSI |
Sebab itu, mereka tidak rela upaya penjemputan paksa oleh polisi terhadap MSA, sebagaimana informasi yang diterima para murid Shiddiqiyyah. Lantunan dua Asmaul Husna, kerapkali menggema di halaman Ponpes setempat.
Juru bicara (Jubir) Ponpes Shiddiqiyyah, Joko Herwanto menyatakan, pihaknya senantiasa menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Namun, lanjutnya, upaya murid Shiddiqiyyah kali ini adalah bentuk keprihatinan atas munculnya rekayasa kasus yang menerpa Ponpes Shiddiqiyyah.
Menurutnya, upaya rekayasa kasus hingga kemudian MSA ditetapkan sebagai tersangka, cukup gamblang. Di antaranya, dalam tahap penyelidikan, MSA tidak pernah diperksa namun kemudian ditetapkan tersangka. “MSA tidak pernah diperiksa, kemudian ditetapkan sebagai tersangka,” ujar Joko Herwanto kepada sejumlah wartawan.
Kemudian, lanjutnya, pelapor diinformasikan adalah anak di bawah umur. Namun faktanya, pelapor adalah orang yang sudah dewasa. Selain itu, kata Joko, pelapor menyampaikan kejadian yang menimpanya pada tahun 2017, namun dilaporkan pada tahun 2019.
“Dalam jangka dua tahun baru dilaporkan. Ini ada apa?. Apakah kasus ini sengaja dipersiapkan selama dua tahun hingga kemudian ada rekayasa untuk mengkriminalisasi pesantren Shiddiqiyyah,” tandasnya Joko.
Fakta lain, lanjut Joko, yaitu bahwa kasus yang mendera MSA mengalami P-19 atau pengembalian berkas perkara untuk dilengkapi sebanyak 7 kali.
“Pelimpahan berkas dari Polda ke Kejaksaan, dikembalikan Kejaksaan sebanyak 7 kali. Dan ini sebuah kasus yang tidak lazim. Artinya ada upaya-upaya untuk memaksakan kasus ini menjadi kasus hukum. Sangat jelas terjadi kriminalisasi,” sambungnya.
Selain itu, fakta persidangan gugatan praperadilan di PN Surabaya lalu, Joko Herwanto menyatakan, tidak ada satu pun saksi mata dalam kasus ini.
“Saksi mata yang dihadirkan pihak Polda Jatim dalam persidangan praperadilan ternyata hanya mendengar dari pelapor. Selain itu, alat bukti yang disodorkan untuk memaksakan kasus ini ternyata di labfor Polda Jatim tidak ada isinya,” tandanya.
Juga soal visum. Joko Herwanto menyatakan, jika visum dalam kasus pemerkosaan atau pencabulan semestinya dilakukan tidak lama dari kejadian. Namun faktanya, ada durasi waktu cukup lama antara hari kejadian dengan pelapor melakukan visum, yakni 6 bulan setelah kejadian.
“Dan hasil visum itu, ternyata tidak ada bukti kekerasan. Bagaimana membuktikan sebuah visum yang tidak punya kwalitas, tidak ada sperma. Tapi kemudian dipaksakan menjadi kasus pemerkosaan dan pencabulan,” beber Joko.
Dengan fakta-fakta tersebut, lanjut Joko, ribuan murid Shiddiqiyyah yang berkumpul di Ponpes setempat ini, untuk mempertahankan harkat dan martabat Pesantren Shiddiqiyyah.
“Kami akan mempertahankan pesantren ini sebagai benteng agama Islam, bangsa dan negara. Apapun risikonya,” tandasnya.
Disinggung informasi penjemputan paksa MSA, “Secara kelembagaan kami dididik untuk menghormati negara, menghormati pemerintah, menghormati institusi Polri. Namun demikian kalau ada oknum-oknum yang kami duga dan kami yakini memaksakan kasus ini, maka pilihannya adalah kami mempertahankan diri,” jawabnya.
Soal gigatan praperadilan kedua yang dilayangkan ke Pengadilan Negeri (PN) Jombang pada Kamis, 6 Januari 2022 lalu, Joko menjawab, hal tersebut merupakan bagian dari ikhtiar atas mekanisme hukum yang ditempuh tim pengacaranya untuk meminta keadilan (Fj/kuh)*
Posting Komentar
Posting Komentar