Oleh: Putu Dian Pusparini, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak |
Tak akan ada habisnya jika berbicara tentang pajak. Semakin ke sini, ilmu perpajakan semakin kompleks.
Begitu juga dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Di balik 10%-nya, maaf harus diralat menjadi 11%, ternyata menyimpan banyak hal yang menarik untuk diulik.
Yakinlah bahwa semua orang yang sudah cukup dewasa pasti mengetahui bahwa tarif PPN itu tunggal. Tidak perlu susah payah menghitungnya.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, tarif PPN bersifat tunggal yakni 10%. Namun sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), tarif PPN berubah menjadi 11% per 1 April 2022. Tarifnya akan naik menjadi 12% maksimal 1 Januari 2025.
Meski berubah, tetap saja tarif PPN bersifat tunggal yakni 11%. Namun jika Anda membaca penggalan pasal berikut, Anda akan meragukan sifat PPN adalah bertarif tunggal.
Pasal 2 Ayat (2) :
“Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu berupa penyerahan kendaraan bermotor bekas wajib memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan kendaraan bermotor bekas dengan besaran tertentu.”
Pasal 2 Ayat (5) :
“Besaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan:
sebesar 1,1% (satu koma satu persen) dari Harga Jual, yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022; dan
sebesar 1,2% (satu koma dua persen) dari Harga Jual, yang mulai berlaku pada saat diberlakukannya penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.”
Ayo, ada yang bisa tebak kenapa PPN-nya menjadi 1,1% dan 1,2%? Mengapa bukan 11% atau 12%?
Pajak Keluaran dan Pajak Masukan
Bagi yang awam di bidang perpajakan, mungkin kebingungan mengapa ada pasal yang menunjukkan tarif PPN yang tidak tunggal. Katanya 11%, mengapa ada pasal yang menyebutkan tarif lain?
Pasal di atas berasal dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Kendaraan Bermotor Bekas.
Sebelum terbentuknya PMK-65, PPN atas penjualan kendaraan bermotor bekas diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Kegiatan Usaha Tertentu.
Sebagai dasar, kita harus camkan bahwa dalam mekanisme PPN akan ada yang memungut sekaligus menyetorkan PPN, ada pula yang membayar PPN.
Bayangkan kita adalah seorang pengusaha eceran alat tulis kantor. Kita sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Otomatis kita harus memungut PPN sebesar 11% atas penjualan alat tulis kantor di toko kita. Setelah sebulan berlalu, kita hitung ada Rp11.100.000 di mesin kasir. Tentu saja omzet yang seharusnya didapat hanya Rp10.000.000. Lalu apakah Rp1.100.000 merupakan jumlah utuh yang disetor ke kas negara?
Tidak.
Sebuah kata “tidak” yang sangat lugas. Karena kalau seluruh PPN yang dipungut tersebut disetor ke kas negara, apa untungnya menjadi PKP yang memungut pajak? Rugi! Kita akan kalah saing dengan toko sebelah yang tidak memungut PPN.
Maka dari itu, pemerintah menyodorkan keuntungan jika menjadi PKP maka kita boleh mengkreditkan pajak masukan. Aduh! Apalagi pajak masukan?
Pajak Masukan adalah PPN yang kita bayar kepada PKP lain. Misal semua alat tulis kantor yang kita jual ini berasal dari pabrik. Nah, atas pembelian alat tulis kantor tersebut kita membayar harga beli ditambah PPN. Ya! PPN itulah yang kita sebut sebagai Pajak Masukan (PM). Sedangkan PPN yang kita pungut atas penjualan alat tulis kantor itulah Pajak Keluaran (PK). Anggap saja PM-nya sebesar Rp990.000. Maka jumlah PPN yang disetor ke kas negara adalah pengurangan antara PK dan PM yakni sebesar Rp120.000.
Sampai di sini, mungkin sudah jelas untungnya menjadi PKP yang memungut PPN itu apa. Ya! Kita bisa berhemat PPN karena yang membayar PPN secara tidak langsung adalah konsumen terakhir.
Benang Kusut 1,1%
Pernahkah kalian membayangkan dari mana pengusaha kendaraan bermotor bekas mendapatkan barang dagangannya? Pastinya tidak ada pabrik penghasil kendaraan bermotor bekas, kan? Beberapa sumber menyebutkan motor atau mobil bekas itu berasal dari individu yang menjual kendaraan tak terpakainya.
Atas pembelian kendaraan bermotor bekas tersebut, apakah PKP ini membayar PPN ke individu tersebut? Tidak. Karena kebanyakan individu yang menjual kendaraan bekas mereka bukanlah PKP sehingga tidak punya hak untuk memungut PPN.
Kendaraan bermotor bekas termasuk ke dalam Barang Kena Pajak (BKP) yang tentunya dikenakan PPN. Maka, PKP penjual kendaraan bermotor bekas berkewajiban untuk memungut dan menyetorkan PPN atas penjualan motor atau mobil bekasnya. Lalu dengan demikian maka berapakah PM yang dapat dikreditkan atas kegiatan jual beli kendaraan bermotor bekas ini?
Dari benang kusut tersebut, lahirlah PMK-79 khususnya pada pasal 3 huruf a. Pasal tersebut mengatur jumlah PM yang dapat dikreditkan adalah sebesar 90% dari PK. Artinya sebesar 10% dari PK disetor ke kas negara.
Lalu bagaimana dengan 1,1%?
Sebenarnya mekanismenya sama saja dengan PMK-79. Namun dalam peraturan terbaru yaitu PMK-65, besaran tertentu dari harga jual yang disetor ke kas negara tersebut menyesuaikan dengan besaran tarif PPN sebagaimana diatur dalam UU HPP yakni 11%.
Jadi 10% dari PK yang disetor ke kas negara dikalikan dengan 11% tarif PPN. Gampangnya adalah 10% x 11% x harga jual. Itulah asal muasal terbentuknya besaran 1,1% dari harga jual yang wajib disetorkan PKP ke kas negara.
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa PPN memiliki tarif tunggal yakni 11% dan besaran 1,1% tersebut bukan merupakan PPN yang dipungut oleh PKP penjual kendaraan bermotor bekas namun jumlah selisih pengkreditan PM terhadap PK.
*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Posting Komentar
Posting Komentar