Gambar; Tokoh Pewayangan Kamajaya & Kamaratih © jejak potensi |
Jejak Potensi - Pertumbuhan dan perkembangan cerita wayang dari zaman prasejarah sampai sekarang, berjalan melalui jalur Literasi (lisan, gambar dan tulisan). Melalui jalur lisan wayang disebarkan oleh para dalang dan orang-orang tua yang sudah tahu banyak tentang ceritanya. Adapun melalui jalur gambar dan tulisan lewat aneka serat pakem, sedangkan yang mewarisi wayang dari zaman ke zaman (prasejarah-sekarang ini), tidak lain ialah keraton lewat tangan-tangan pejabat yang mewariskan wayang, dan Filsafat Jawa merupakan sumber inspirasi bagi filsafat wayang.
Pertunjukan wayang bagi masyarakat Jawa khususnya, bukan lagi sebagai hiburan, akan tetapi sebagai gambaran keanekaan hidup manusia, tentang beratnya tanggung jawab yang terdapat dalam dalam pengambilan keputusan, tetapi tidak memutuskan sesuatu. Cerita wayang dan karakter tokoh-tokoh mencerminkan sebagian dari situasi konkret kenyataan hidup masyarakat Jawa. Wayang adalah refleksi dari budaya Jawa, dalam arti pencerminan dari kenyataan kehidupan, nilai dan tujuan kehidupan, moralitas, harapan, dan cita-cita kehidupan orang Jawa, sehingga walaupun ada beberapa orang yang berpendapat bahwa menonton wayang itu menghabiskan waktu serta membosankan, tetapi masih banyak penggemarnya baik kaum tua maupun kaum muda.
Hal ini terbukti setiap ada pertunjukan wayang, selalu penuh penontonnya, baik muda maupun tua. Wayang mampu menginterpretasi dirinya ke alam nyata. Jajaran lakon dan pelaku-pelaku wayang merupakan contoh lakon dan tingkah laku manusia yang ada di dalam masyarakat, dan juga wayang sebagai kesenian mampu beradaptasi dengan masyarakat.
Sehingga dalam konteks yang lebih luas wayang akan mampu menjadi media komunikasi dan pendidikan yang efektifbagi masyarakat Jawa khususnya, bagi masyarakat Indonesia umumnya.
Begitu banyak kisah-kisah teladan yang dapat diambil dari cerita dan peran pewayangan, meskipun rata-rata dalam penyajian saat pertunjukan pagelaran wayang kisah yang siangkat tentang perebutan kekuasaan, tahta, hingga wanita. Lalu bagaimana dengan kisah percintaan yang ada di kisah pewayangan?
Kisah Kamajaya dan Dewi Ratih atau Kamaratih memang tidak begitu terkenal dalam cerita pewayangan. Kamajaya dan Dewi Ratih dikenal sebagai dewa-dewi cinta yang menjadi simbol kerukunan Suami istri.
Kamajaya adalah Dewa Cinta putera Sang Hyang Isma. Ia berparas elok, berbudi luhur, jujur, berhati lembut dan penuh kasih kepada istrinya. Begitu Juga dengan Kamaratih atau Dewi Ratih, ia adalah puteri Sang Hyang Resi Soma. Ia berparas sangat cantik dan berwatak seperti suaminya. Pasangan dewa-dewi ini saling menyayangi,mecintai, sangat rukun dan selalu menjaga kesetiaan lahir dan batin. Kamajaya dan Kamaratih tak pernah berpisahan.
Kasih sayang dan kerukunan mereka sebagai suami istri itu menjadikan mereka sebagai symbol kerukunan suami istri. Sehingga pada acara pernikahan masyarakat Jawa, sering terdengar wejangan untuk kedua mempelai agar pasangan suami istri tersebut bisa saling mencintai, rukun dan setia seperti Kamajaya dan Kamaratih. Dan bila kelak pasangan tersebut memiliki anak, diharapkan anak tersebut mempunyai sifat-sifat seperti Kamajaya (jika laki-laki), dan secantik Kamaratih (jika perempuan).
Selain itu, dalam acara tujuh bulanan atau mitoni dalam budaya Jawa, kelapa muda yang hendak dipecahkan ayah calon bayi sering dilukiskan atau dituliskan nama Kamajaya. Sebagai wujud dari buah cinta.
Salah satu kisah pewayangan Kamajaya dan Kamaratih tertulis dalam buku Smaradahana.
Dalam kisah tersebut, Kahyangan akan diserbu oleh bala tentara raksasa yang dipimpin oleh Raja Nilarudraka. Namun para dewa merasa tidak mampu menghadapi kesaktian Raja Nilarudraka. Seluruh dewa yang ada panik dan bingung bagaimana cara mengatasi bahaya itu, karena saat itu Batara Guru sedang bertapa.
Para dewa kemudian mengadakan musyawarah dan keputusannya yaitu menunjuk Batara Kamajaya untuk membangunkan Batara Guru dari pertapannya. Maka Kamajaya pun berpamitan dengan sang istri, di cium lah kening kamaratih sembari berpamitan untuk berangkat bertugas ke pertapaan Batara Guru.
Sesampainya di pertapaan, Batara Kamajaya tidak berani mendekat untuk membangunkan Batara Guru. Maka ia menemukan akal untuk membangunkan sang raja Dewa tersebut. Kamajaya menggunakan panah bunga, yang bisa menyebarkan wangi-wangian bunga. Tetapi usahanya tidak berhasil. Maka ia kemudian menggunakan panah Panca Wisaya yaitu panah yang bisa menimbulkan rasa rindu kepada orang yang dituju.
Seketika batara Guru timbul rasa rindunya kepada permaisurinya Dewi Uma, Batara Guru terbangun dari tapanya tetapi betapa marahnya ia, ketika yang ia jumpai bukanlah Dewi Uma tetapi Batara Kamajaya.
Batara Guru memandang Batara Kamajaya dengan mata ketiga yang ada di dahinya. Pandangan itu memancarkan api yang menyala-nyala sehingga membakar Bathara Kamajaya hingga mati.
Dewi Ratih yang melihat dari jauh saat mengikuti karena firasat kekhawatirannya, bahwa dewi Ratih melihat suaminya mati terbakar, dewi ratih sangat bersedih hati. Ia kemudian mendekat ke tempat dimana suaminya terbakar tersebut.
Dewi Ratih memohon kepada Bathara Guru agar dibakar seperti suaminya, namun Bathara Guru menolak. Dewi Ratih pun langsung menghampiri suaminya yang apinya masih menyala hingga ia ikut terbakar hingga mati.
Sehingga pasangan suami istri dewa-dewi ini pun kembali menyatu dalam kobaran api tersebut.
Mengetahui kejadian tersebut, kemudian seluruh dewa berduka cita. Para dewa berusaha untuk memohonkan ampun atas kesalahan yang diperbuat Batara Kamajaya dan Batara Guru berkenan untuk menghidupkan kembali Batara Kamajaya dan Kamaratih.
Namun, Batara Guru tidak bisa mengabulkan permohonan itu. Namun Batara Guru memutuskan agar Batara Kamajaya tinggal pada setiap hati atau rasa orang laki-laki dan Dewi ratih tinggal pada setiap hati/rasa orang perempuan. Sehingga timbullah kelestarian, kedamaian dunia karena antara laki-laki dan perempuan selalu timbul rasa cinta kasih yang setia.
.
.
Kontributor ; Kukuh Dwi Hariadi
Posting Komentar
Posting Komentar