Jejak Potensi - Aku masih ingat saat usiaku 9 tahun, tiba-tiba semuanya berubah. Di saat teman-temanku masih bisa menikmati hangatnya keluarga lengkap, aku harus belajar hidup hanya dengan bapakku. Ibuk pergi dari rumah untuk kami, dan aku mulai merasakan apa artinya hidup mandiri sejak dini.
Saat usiaku 11 tahun berganti bapak yang meninggalkan kami, dua tahun kemudian, di usia 12 tahun, keputusan yang lebih besar lagi harus kuambil. Aku yang pergi meninggalkan rumah. Bukan karena aku tidak ingin tinggal bersama mereka, tapi karena aku ingin menemukan jalanku untuk menunjang suatu pendidikan. Sejak itu, hidup sendiri jauh dari orang tua sudah menjadi bagian dari diriku. Aku terbiasa, meski tidak mudah.
Tapi, kini di usia 22tahun, aku dihadapkan pada keputusan yang sama lagi (pergi). Entah kali ini untuk berapa lama. Kali ini aku tidak takut meninggalkan rumah, tapi aku masih terbayang dengan keputusan yang kuambil ini. Apakah keputusan yang aku ambil ini akan membawaku ke kehidupan yang kuinginkan? Atau justru sebaliknya? Aku tidak tahu, tapi aku harus belajar menerima apapun yang terjadi. Karena di balik ketidakpastian itu, hanya Tuhan yang tahu apa yang terbaik untukku.
Dalam hubungan asmara pun, cerita yang sama terulang lagi. Kali ini bukan soal meninggalkan rumah, tapi tentang menjaga hubungan yang terkadang terasa berat. Aku ingin dia memahamiku, tapi setiap kali aku mengungkapkan apa yang aku rasakan, aku takut dianggap tidak pengertian. Jadi, aku memilih untuk memendam semuanya sendiri. Setiap malam, aku menangisi hal-hal kecil yang bagiku sangat berarti, tapi mungkin bagi dia hanyalah angin lalu.
Aku ingin dicintai lebih dari rasa cintaku padanya. Tapi, sampai saat ini, aku belum merasakan itu. Dia tidak tahu betapa sakitnya aku setiap malam, karena aku tidak pernah benar-benar mengungkapkannya. Baginya, aku mungkin terlihat baik-baik saja, tapi kenyataannya, hatiku terluka dalam.
Capek. Capek harus menahan rasa sakit ini sendirian. Tapi ini pilihanku. Menahan semuanya demi menjaga hubungan ini tetap utuh. Meski aku tahu, terus-menerus memendam perasaan bukanlah solusi yang baik. Tapi aku tetap memilih untuk diam. Berharap suatu hari, aku akan terbiasa dengan semua rasa sakit ini.
Tidak apa-apa, aku yakin aku bisa bertahan. Aku akan belajar ikhlas dan menerima apapun yang terjadi di masa depan, karena aku percaya, Tuhan selalu memberikan yang terbaik, meski kita tidak selalu bisa melihatnya.
Beberapa poin penting, sebagai pelajaran yang dapat menguatkanku:
- Hidup akan selalu membawa kita pada pilihan-pilihan sulit, tapi keyakinan untuk terus melangkah adalah kunci.
- Tidak semua keinginan akan terpenuhi, dan terkadang belajar mengikhlaskan adalah hal terbaik yang bisa dilakukan.
- Dalam hubungan, penting untuk terbuka tentang perasaan, karena menahan terlalu lama hanya akan menambah beban.
- Tuhan selalu punya rencana yang lebih besar, dan meskipun kita tak tahu jalannya, kita bisa yakin bahwa apapun yang terjadi adalah untuk kebaikan kita.
- Hidup sering kali menuntut kita untuk menghadapi hal-hal yang tidak terduga, dan terkadang pilihan kita membawa pada rasa sakit yang harus diterima dengan ikhlas.
- Mengorbankan diri dalam sebuah hubungan tanpa komunikasi yang jujur dapat membuat luka yang terus bertambah, meski niatnya untuk menjaga keutuhan.
- Meskipun sulit, kita perlu mengenali kapan harus berbicara dan membuka diri, karena memendam perasaan hanya akan memperparah keadaan.
- Pada akhirnya, kekuatan sejati datang dari keyakinan bahwa kita mampu bertahan dan menerima apapun takdir yang diberikan Tuhan.
.
.
Kontributor: Vika Dwi Indriani
Posting Komentar
Posting Komentar