Oleh : Umar Ilham Hidayatullah
Dengan Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014, desa diberi otonomi untuk merencanakan pembangunan yang sesuai kebutuhan lokal. Desa Ketapanrame, dengan potensi geografis dan budaya, dipilih sebagai studi kasus. Sebagai desa wisata, inisiatif pembangunan dilakukan untuk mengatasi masalah sosial-ekonomi seperti pengangguran, rendahnya pendapatan, dan akses layanan dasar yang minim.
Pembangunan desa telah menjadi salah satu prioritas dalam kebijakan pembangunan nasional di Indonesia. Melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa diberikan kewenangan lebih besar untuk merancang dan melaksanakan pembangunan berdasarkan potensi lokalnya. Salah satu inovasi dalam pembangunan desa adalah pengembangan desa wisata, seperti yang dilakukan Desa Ketapanrame di Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto. Dengan memanfaatkan potensi geografis dan budaya lokal, desa ini berhasil mentransformasi dirinya menjadi destinasi wisata unggulan. Namun, di balik keberhasilan tersebut, terdapat tantangan dan dinamika politik yang menarik untuk dikaji.
Politik Pemberdayaan sebagai Strategi Pembangunan Desa
Politik pemberdayaan adalah proses yang melibatkan berbagai pihak yang berpartisipasi dalam mengelola pembangunan berdasarkan prinsip partisipasi dan pembagian keuntungan yang adil. Musyawarah desa di Desa Ketapanrame melibatkan pemerintah desa, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), kelompok masyarakat seperti Karang Taruna, Kelompok Usaha Bersama (KUB), dan masyarakat umum untuk menetapkan politik pemberdayaan. Melalui metode ini, masyarakat tidak hanya menjadi penerima manfaat tetapi juga berpartisipasi secara aktif dalam pengelolaan dan pengawasan program pembangunan.
Pembangunan Taman Ghanjaran dan Wisata Sawah Sumbergempong merupakan contoh keberhasilan pemberdayaan masyarakat di desa ini. Pemerintah Desa Ketapanrame memulai program urun dana atau investasi warga untuk mendanai pembangunan. Program ini melibatkan 440 keluarga, yang menyumbangkan total Rp 3,8 miliar. Selain meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap proyek pembangunan, partisipasi ini menghasilkan pendapatan pasif melalui bagi hasil.
Pembangunan Desa Ketapanrame berhasil berkat peran orang-orang penting. Kepala Desa Zainul Arifin adalah inisiator utama, dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan BUMDes Mutiara Welirang membantu sebagai pelaksana teknis. Selain itu, kelompok sosial seperti Karang Taruna dan Pokdarwis Rakasiwi bertanggung jawab atas pengelolaan objek wisata dan mobilitas masyarakat.Desa Ketapanrame menunjukkan metode kolaboratif bagaimana lembaga politik lokal dapat bekerja sama dengan masyarakat untuk mencapai tujuan pembangunan. Metode ini, bagaimanapun, menghadapi beberapa hambatan. Mengingat kemungkinan konflik kepentingan dan ketimpangan dalam distribusi manfaat, ada risiko dominasi oleh kelompok elit (elite capture).
Ketika sekelompok kecil orang atau aktor yang memiliki dominasi politik dan ekonomi mengambil alih sumber daya pembangunan, ini dikenal sebagai fenomena pengambilan elit. Fakta bahwa beberapa aktor utama berkonsentrasi pada pengambilan keputusan dan pengelolaan sumber daya di Desa Ketapanrame menunjukkan potensi pengambilan elit. Meskipun sebagian besar pihak berpartisipasi melalui mekanisme musyawarah desa, sistem pengawasan yang lebih jelas diperlukan untuk memastikan bahwa keuntungan pembangunan didistribusikan secara merata di seluruh masyarakat.Studi ini menunjukkan betapa pentingnya memiliki desain institusi yang kuat untuk mencegah pengambilan kekuasaan elit. Pemerintah desa harus memastikan bahwa musyawarah desa inklusif dan melibatkan kelompok rentan seperti perempuan dan pemuda.
Desa Ketapanrame memiliki pembangunan yang didasarkan pada pemberdayaan masyarakat, yang memberikan pelajaran penting tentang bagaimana politik lokal dapat membantu mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Desa ini berhasil menciptakan model pembangunan yang meningkatkan pendapatan dan kohesi sosial dengan melibatkan berbagai pihak dan mendorong partisipasi masyarakat.Namun, beberapa tindakan perlu dilakukan untuk mencapai keberlanjutan. Pertama, kapasitas BUMDes dan kelompok masyarakat dalam pengelolaan objek wisata harus terus ditingkatkan oleh pemerintah desa. Kedua, mekanisme pengawasan yang lebih jelas harus dibuat untuk menghindari dominasi kelompok elit. Terakhir, kelompok rentan harus lebih terlibat dalam proses pembangunan melalui pelatihan dan fasilitasi yang lebih baik.
Pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat di Desa Ketapanrame menawarkan model kolaboratif antara pemerintah desa, masyarakat, dan kelompok ekonomi lokal. Namun, tantangan terkait elite capture dan keberlanjutan pemberdayaan masyarakat tetap menjadi isu yang harus dikelola dengan baik. Desa Ketapanrame adalah contoh nyata bagaimana desa dapat menjadi pusat inovasi pembangunan melalui pemberdayaan masyarakat. Dengan terus mengelola tantangan dan risiko secara efektif, desa ini dapat menjadi model bagi desa-desa lain di Indonesia dalam mengembangkan potensi lokal mereka secara optimal.
Posting Komentar
Posting Komentar